Mogok Kerja Buruh Berdampak Pemutusan Hubungan Kerja
DOI:
https://doi.org/10.33506/js.v5i2.540Keywords:
Mogok Kerja, Pemutusan Hubungan Kerja Dan Hukum PositifAbstract
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, menganalisis dan menjelaskan mogok kerja yang merupakan hak normatif dari buruh, yang telah mendapat legitimasi dari peraturan perundang-undangan. Mogok kerja sebagai sarana untuk menyamakan kedudukan dengan pengusaha akan tetapi berdampak pemutusan hubungan kerja.
Penelitian ini dilakukan dengan metode normatif empiris. Penelitian normatif dilakukan dengan penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder melalui studi dokumen. Penelitian empiris dilakukan dengan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer melalui wawancara dengan subjek peneliti. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan hasilnya disampaikan secara deskriptif. Berdasarkan penelitian dan Pembahasan, maka penulis menyimpulkan Mogok kerja merupakan hak dasar yang secara eksplisit disebutkan dalam undang-undang ketenagakerjaan, Sebagai hak dasar maka keberadaannya harus dihormati oleh setiap orang tidak terkecuali pengusaha. Mogok kerja bukan sesuatu yang “liarâ€, mogok kerja harus dilakukan dengan etika yang baik. Mogok kerja yang baik, apabila dilakukan sesuai dengan prosedur peraturan perundang-undangan. Adapun prosedur untuk melakukan mogok kerja sebagaimana tercantum dalam Pasal 140 UUK dan Pasal 3 KEP.232/MEN/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah:
Prosedur yang ditetapkan dalam undang-undang ketenagakerjaan dan KEP.232/MEN/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang tidak Sah, untuk melakukan mogok kerja yang sah, sangat memberatkan bagi pihak buruh. Pada saat peneliti melakukan penelitian di Dinas Nakertrans Kab Sleman, Dinas Nakertrans Kab Bantul dan Dinas Sosnakertrans Kota Jogja, peneliti tidak mendapatkan kasus mogok kerja yang dilakukan oleh buruh sesuai dengan prosedur perundang-undangan. Menurut Ari Hernawan kemungkinan kecil bagi pekerja atau serikat pekerja yang mogok kerja untuk dapat memenuhi prosedur tersebut. Prosedur mogok kerja yang sudah diakomodasikan dalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut sangat berat untuk dilaksanakan pekerja. Ketentuan mengenai prosedur mogok kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 sangat membatasi ruang gerak pekerja untuk mogok sehingga hak mogok menjadi sulit dilaksanakan secara sah, padahal mogok adalah hak dasar pekerja dan organisasi pekerja yang seharusnya dipermudah untuk pelaksanaannya.
References
Agusmidah, dkk, Bab-Bab Tentang Hukum Perburuhan Indonesia, Pustaka Larasan, Jakarta,
Budi Santoso, “Justifikasi Efisiensi Sebagai Alasan Pemutusan Hubungan Kerjaâ€, mimbar hukum,Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Vol. 25, Nomor 3 Oktober 2013.
Djumadi, 1992, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Haryani, Sri, 2002, Hubungan Industrial Di Indonesia, UPP AMP YKPN, Yogyakarta
Hernawan, Ari, 2013, Ketidakadilan Dalam Norma dan Praktik Mogok Kerja Di Indonesia, Udayana University Press, Bali
Koeshartono. D dan M.F. Shellyana Junaedi, 2005, Hubungan Industrial Kajian Konsep dan Permasalahan, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta
Tanya, Bernald L, Theodorus Yosep Parera, Samuel F Lena, 2015, Pancasila Bingkai Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)